Kehamilan sering digambarkan sebagai masa yang penuh kebahagiaan. Banyak yang membayangkan ibu yang tersenyum lembut sambil membelai perutnya, atau suasana haru ketika bayi pertama kali hadir dalam pelukan. Namun, di balik gambaran indah tersebut, kenyataan bagi sebagian ibu bisa sangat berbeda. Kehamilan dan kelahiran adalah proses besar yang tidak hanya melibatkan perubahan fisik, tetapi juga perubahan emosional dan mental yang mendalam. Di sinilah pentingnya memahami kesehatan mental perinatal selama hamil hingga satu tahun setelah melahirkan.

Pada masa ini, tubuh ibu mengalami perubahan hormon yang begitu cepat, memengaruhi suasana hati dan kestabilan emosinya. Selain itu, ibu juga mulai menyesuaikan diri dengan peran baru, menghadapi berbagai harapan sosial, serta belajar menerima tanggung jawab untuk merawat seorang bayi yang sepenuhnya bergantung padanya. Semua ini bukan hal kecil. Tidak heran jika banyak ibu merasa kewalahan, cemas, atau bahkan sedih, meski mereka sangat mencintai anaknya.

Perasaan seperti mudah menangis, khawatir berlebihan, atau merasa tidak percaya diri dalam merawat bayi, sering kali muncul pada minggu-minggu pertama setelah melahirkan. Kondisi ini dikenal sebagai baby blues dan biasanya akan mereda dengan dukungan dan istirahat yang cukup. Namun, bagi sebagian ibu, perasaan sedih dan tertekan dapat berlangsung lebih lama dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Inilah yang dikenal sebagai depresi perinatal. Ibu mungkin merasa dirinya gagal, merasa tidak mampu menjadi ibu yang baik, atau merasa terputus dari bayinya. Kondisi ini bukan berarti ibu lemah atau kurang bersyukur. Ini adalah reaksi emosional yang nyata dan membutuhkan perhatian.

Sayangnya, banyak ibu menyimpan perasaannya sendiri. Mereka takut dianggap tidak kuat, tidak cukup keibuan, atau khawatir dinilai sebagai ibu yang buruk. Mereka tersenyum di depan orang lain padahal hatinya berjuang keras setiap hari. Ketika hal seperti ini terjadi, keberadaan lingkungan yang memahami menjadi sangat penting. Sebuah kalimat sederhana seperti “Tidak apa-apa merasa lelah, kamu tidak sendirian” bisa menjadi pelukan emosional yang sangat berarti.

Dalam hal ini, bidan memiliki peran yang sangat dekat dan penting. Bidan tidak hanya mendampingi ibu dalam perawatan kehamilan dan proses persalinan, tetapi juga dapat menjadi sosok yang peka terhadap kondisi emosional ibu. Dengan mendengarkan cerita ibu tanpa menghakimi, memberikan rasa aman untuk berbagi, dan mengenali tanda-tanda stres yang berlebihan, bidan dapat menjadi jembatan antara ibu dan layanan pendampingan psikologis jika diperlukan. Sebuah sentuhan hangat pada bahu, tatapan yang penuh empati, atau sekadar menyediakan ruang untuk ibu menceritakan kekhawatirannya, dapat membantu mengurangi rasa kesepian yang sering dirasakan ibu baru.

Keluarga pun memegang peran penting. Dukungan yang paling dibutuhkan ibu bukanlah nasihat panjang atau tuntutan untuk “tetap kuat”, melainkan kehadiran yang tulus. Membantu pekerjaan rumah, memberikan waktu agar ibu bisa beristirahat sejenak, mendengarkan keluhannya tanpa menyela, atau sekadar memeluknya saat ia merasa lelah, dapat membantu ibu merasa lebih dihargai dan tidak sendirian.

Kesehatan mental perinatal bukan hanya tentang menjaga perasaan seorang ibu. Dampaknya jauh lebih luas. Ibu yang tenang dan merasa didukung dapat membangun hubungan emosional yang lebih hangat dengan bayinya. Bayi yang tumbuh dalam pelukan penuh cinta dan ketenangan akan berkembang dengan lebih baik, baik secara emosional maupun fisik. Dengan kata lain, merawat kesehatan mental ibu berarti merawat masa depan anak dan keluarga.

Maka, penting bagi kita semua—tenaga kesehatan, pasangan, keluarga, dan lingkungan—untuk melihat ibu bukan hanya sebagai sosok yang melahirkan, tetapi juga sebagai manusia yang sedang berjuang. Ia tidak hanya membutuhkan perawatan fisik, tetapi juga ruang untuk merasa, menangis, tersenyum, dan dipahami. Sebab menjadi ibu bukan pekerjaan yang mudah, tetapi dengan dukungan yang tepat, perjalanan itu dapat menjadi lebih lembut dan penuh makna.